John Hartman Hanya Berbekal 10 Dolar AS dan satu koper baju

JAKARTA, MediaSulut.Com - Ketika diutus Roh Kudus menjadi pengerja di Indonesia, Rev. John Hartman pada mulanya menolak, sama seperti ketika di negeri asalnya Amerika, ia menolak untuk menjadi pelayan Tuhan. "Kenapa Indonesia, Tuhan?" ia bertanya. Dan, saat itu ia pun jatuh sakit. Tahun 1991, penginjil kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan ini akhirnya menginjakkan kaki di Bumi Pertiwi menunaikan panggilanNya. Selanjutnya di ujung tahun itu ia memulai pelayanan dengan menggunakan sarana media (televisi dan radio), atau yang biasa disebut televangelist dan mendirikan GOTN (Gospel Overseas Television Network).

Setidaknya jutaan pemirsa atau pendengar serta peserta KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) di berbagai tempat di Indonesia pernah menyaksikan atau mendengar Firman Tuhan yang disampaikan dalam bahasa Inggris dengan menggunakan penerjemah. Rev. John Hartman memulai pelayanannya di Placerville, California sejak tahun 1976. Selain aktif dalam pelayanan lewat media televisi, dengan mendirikan beberapa stasiun televisi lokal, dia juga aktif mengadakan KKR-KKR, baik dalam gereja maupun lapangan-lapangan di seluruh Indonesia, Amerika, dan negara-negara lain.

Sebelum pertobatannya, Hartman bekerja sebagai seorang detektif di LBPD, Long Beach California, serta menjadi bodyguard dari penyanyi-penyanyi terkenal masa itu, satu di antaranya adalah Elvis Presley. Tetapi setelah Tuhan menjamah hatinya, menyembuhkannya dari kanker paru-paru, dia menyerahkan sepenuh hidupnya untuk melayani Tuhan.

Sebelum mengirimnya ke Indonesia, Tuhan lebih dulu mempersiapkan Hartman di training-ground-Nya, yang dalam hal ini adalah areal reservasi Indian (Indian Reservation) di Amerika dan di beberapa negara lainnya.

Kini, setelah belasan tahun tinggal di negeri pluralistik ini, John Hartman, kakek dari beberapa cucu, bahkan enggan kalau harus pergi sebelum menyelesaikan tugasnya. "Kecuali Tuhan yang menyuruh saya pulang. Saya ingin terus mengabdi di negeri kelahiran saya yang tercinta ini sampai saya tidak kuat lagi secara fisik. Saya diutus Tuhan ke Indonesia untuk mencari jiwa-jiwa, dan saya sangat mengasihi Indonesia", katanya.

BEKAL 10 DOLAR

Belasan tahun Rev John Hartman menyapa pemirsa televisi dengan lagu dalam siaran rohani Kristen. Petikan syairnya, "Sweet.. sweet anointing.. ", dalam irama teduh, pastilah akrab sekali di telinga masyarakat Indonesia. Syair lagu yang manis terdengar ini seolah-olah menjelma menjadi anggur dan minyak yang menyejukkan dan menyegarkan di ruangan penontonnya. Suara itu, kini terasa agak bergetar dimakan usia namun Hartman (69) tetap semangat. Bukankah kunci kehidupan adalah semangat?
Pria kelahiran Makassar tahun 1938 namun warga negara Amerika itu memulai panggilan pelayanannya di Indonesia tahun 1991 karena mendapat panggilan khusus dari Gereja Bethel Indonesia (GBI). "Kami datang berbekal uang 10 dolar dan satu koper baju sehari-hari. Belum ada satu orang pun yang kami kenal di sini", kata Mary Hartman, yang mendampingi sang suami, ketika diwawancarai Pembaruan belum lama ini.

Setelah berbagi visi, dan bertemu dengan kerabatnya, akhirnya ia pun mendirikan sebuah pelayanan media dengan nama GO Studio. "Oleh anugerah Tuhan, pelayanan perdana GO Studio melalui televisi dan radio terwujud pada bulan Desember 1991 di antaranya di RCTI, TVRI Nasional dan daerah. Sampai sekarang siaran itu masih berlangsung", kata Hartman.

Bukan hanya itu saja, pasangan John-Mary juga aktif dalam pelayanan ke seluruh wilayah Indonesia, yaitu kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang tidak jarang harus menghadapi banyak tantangan. Berkat kerja keras dan kemurahan Tuhan, Hartman juga dipercayakan untuk terlibat dalam pendirian stasiun televisi lokal, yang salah satunya ada di Sulawesi Utara, di Jakarta, dan dua stasiun radio.

Sejak kecil, Hartman sebenarnya tak pernah berpikir untuk menjadi pendeta. Namun pada suatu hari Roh Kudus berbicara padanya dan menyuruh ia total mengabdi pada penginjilan. Awalnya ia menolak, tapi kemudian ia jatuh sakit. Sebagai penginjil, Hartman mendapat panggilan pelayanan media, yaitu televisi dan radio di Amerika, yang dirintisnya sejak tahun 1978. Atas panggilan ini dia berhasil mendirikan sebuah stasiun televisi di Amerika yang tetap eksis sampai hari ini. Pengalaman dari Negeri Paman Sam inilah yang dikembangkannya di Indonesia, dan ia menjadi perintis pelayanan melalui media, yang kini banyak diikuti yang lainnya.

Ketika pertama kali GO Studio tampil dalam siaran rohani di televisi swasta, Hartman berada di belakang layar, memberi pengarahan pada beberapa stafnya yang belum berpengalaman, mulai dari sopir, office boy sampai pada petugas kebersihan. "Kami benar-benar memulai dari nol, merekrut karyawan GO Studio pun dari bawah. Saya bahagia sekali karena beberapa di antara mereka kini sudah maju", katanya mengenang masa lalu. Saat muncul pertama kali, acara ini mendapat sambutan gembira masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Kristen.

Nuansa yang ditampilkan pada acara itu berbeda dengan siaran rohani sebelumnya. Dengan gaya talk show berikut setting ruangan yang segar serta siraman lagu-lagu pop rohani, membuat acara itu sangat hidup. Di akhir acara, biasanya pemimpin renungan mengajak pemirsa berdoa bersama dari jarak jauh terutama bagi mereka yang sakit dan yang sedang dalam berbagai pergumulan hidup.

Lalu, setelah beberapa tahun GO Studio tampil di televisi swasta dengan acaranya yang khas itu, barulah Rev John Hartman sendiri yang membawa acara renungan Firman Tuhan. John Hartman didampingi oleh Mary Tambingon, sebagai penerjemah. GO Studio kemudian dikenal sebagai GOTN (Gospel Overseas Television Network).

Nama John Hartman sangat melekat pada GOTN, atau sebaliknya. Sebagai founder atau perintis, pria kelahiran Makassar itu ingin terus melayani di negeri ini sampai ia disuruh pulang Tuhan ke negeri asalnya. "Kami membawa satu koper baju ketika datang maka kami akan pulang membawa satu koper baju pula. Di sini, kami mencari jiwa bukan mencari materi. Saya menabung di surga", katanya tegas.

Penulis: Tim Redaksi
Lebih baru Lebih lama